1. Tentang Tempatnya
Di ujung Utara jazirah Utara pulau Sulawesi terdapatlah tanah Minahasa yang pada mulanya bernama MALESUNG tempat kelahiran nenek moyang Minahasa yang hingga kini menjadi tempat kediaman orang-orang atau suku Minahasa. Pada mulanya tanah Minahasa disebut MALESUNG ada pula yang mengatakan TAURE, tetapi kemudian berubah menjadi MINAHASA menurut nama yang menjadi sebutan penduduk anak-cucu Toar dan Lumimuut pada saat berlakunya peperangan melawan orang Mongondo. Di tengah tanah Malesung inilah terdapat gugusan gunung yang puncaknya bernama Soputan. Pada sekitar gugusan gunung Soputan inilah menjadi tempat kediaman nenek-moyang Minahasa.
2. Tentang Karema dan Lumimuut
Kata syahibul hikayat:
Adalah pada suatu hari keluarlah dari sebuah lubang atau gua di gunung Soputan dua orang wanita yang seorang bernama KAREMA, dan yang lain bernama LUMIMUUT. Karema tampak sudah agak lanjut usianya, sedang Lumimuut tampak masih sebagai perawan muda.
Dari mana asalnya kedua wanita itu, mungkin merupakan manusia semasa NOH (kitab Kejadian pasal 6) yang luput dari bencana alam (air ampuhan) di dunia Noh. Entah Bagaimana sebelum air ampuhan Noh itu masuk ke dalam bahtera (Kejadian 7:1) mungkin juga halnya dengan Karema dan Lumimuut masuk ke dalam bahtera gua gunung Soputan, karena mereka dipilih oleh sang ilahi seperti manusia suci di dunia Malesung ini, sama seperti Noh dengan anak-anaknya, manusia pilihan Allah karena manusia suci di dunia Noh luput dari air ampuhan di atas gungun Soputan. Gunung Ararat dan Soputan seolah-olah adalah gunung batu keluputan atau batu keselamatan.
Kedua manusia wanita itu hidup rukun bagaikan sebuah keluarga yang anggotanya terdiri atas 2 orang wanita, yakni Karema dan Lumimuut, dan sebagai kepala keluarga adalah Karema. Ia seorang yang sungguh pintar berbudi. Ia sering termenung berdiam diri memikirkan sesuatu yang mungkin dapat dilakukannya demi kebaikan dan kemajuan hari depan rumah tangganya.
Sekali peristiwa saat ia memperhatikan segala jenis binatang dan burung-burung berkembang biak, terpikirkannyalah akan keadaan hidup manusia. Dari dalam hatinya muncullah suatu kenyataan "bahwa segala bangsa binatang dan burung dapat bertambah dan berkembang biak karena adanya perjodohan antara jantan dan betina. Oleh sebab itu demikian pulah jadinya manusia antara pria dan wanita. 'Maka aku ini sudah tua, sudah berumur, tetapi si Lumimuut itu masih perawan muda, ia pasti masih boleh berkembang biak. Tetapi, di manakah aku dapat memperoleh seorang pria yang boleh dijodohkan dengan dia sehingga dapat berkembang biak? Di dunia ini hanya kami berdualah manusia wanita tanpa lawan jenis". Ini masalahnya yang amat menyusahkan Karema, sehingga dalam beberapa hari ia senantiasa tampak duduk termenung.
3. Karema Mendapat Ilham
Pada suatu hari, tengah Karema duduk termenung, tiba-tiba ia merasakan adanya orang yang membisikkan ke telinganya dengan berkata: "Hai nenek Karema, apakah yang kau sedang renungkan? Ketahuilah bahwa saat akan datangnya angin yang bertiup pada bulan purnama raya, suruhlah Lumimuut berdiri tepat pada arah datangnya angin dalam keadaan telanjang bulat dengan kaki mengangkang membelakangi mata angin. Apabila angin sedang bertiup, suruhlah dia tunduk diri sambil membungkuk sebungkuk-bungkuknya. Pada saat angin itu sudah reda suruhlah dia berbuat yang sama seperti semula. Demikian seterusnya harus dilaksanakan setiap hari selama 9 hari".
Setelah suara itu menghilang, Karemapun mencari asal usul bisikan tersebut, tetapi tak seorangpun yang dapat diketemukannya, sehingga iapun berpendapat bahwa suara itu adalah suara ilahi yang memberikan jalan baginya, suatu petunjuk akan apa yang harus lakukannya.
4. Lahirnya Toar
Ketika bulan purnama raya tiba, saat angin Utara akan berhembus, Karema segera mepersiapkan Lumimuut seperti apa yang telah dipesankan melalui suara yang didengarnya. Demikinlah setelah angin Utara mulai berhembus sepoi-sepoi basah Karemapun menyuruh Lumimuut siap berdiri pada tempat arah datangnya angin tersebut dalam keadaan tidak berbusana dengan posisi kaki mengangkang membelakangi mata angin. Ia segera menundukkan diri sesuai petunjuk semula kemudian membukukkan diri sebungkuk-bungkuknya selama angin Utara itu berhembus. Setelah angin Utara itu berlalu, iapun disuruh berdiri tegak kembali. Begitu seterusnya mereka lakukan setiap kali angin Utara berhembus selama 9 hari.
Setelah genap 9 hari mereka pun berhenti melaksanakan apa yang diamanatkan oleh suara itu dan menantikan hasil usaha pekerjaan mereka. Tetapi setelah menunggu sampai berbulan-bulan lamanya ternyata usaha kedua makhluk itu tidak membawa hasil yang diharapkan. Mereka lalu menunggu untuk kedua kalinya bukan lagi saat datangnya angin Utara, tetapi saat datangnya musim angin Timur, juga pada saat bulan purnama raya tiba. Ketika musim angin Timur mulai berhembus, merekapun dengan tekun melaksanakan pesan semula, tetapi itupun tidak membawa hasil yang amat dinanti-nantikan. Untuk ketiga kalinya mereka pun menunggu datangnya musim angin Selatan dengan melaksanakan hal yang sama pula, namun dengan rasa sedih dan kecewa yang mencekam karena tidak ada juga hasilnya.
Walaupun demikian, sekalipun 3 musim mereka lakukan hal yang sama tanpa hasil, Karema ternyata tidak berputus asa. Masih ada lagi satu musim yang akan tiba, yaitu musing angin Barat, musim yang luar biasa, anginnya berhembus dengan amat kencang dan mengandung banyak hujan. Ia tetap yakin dan percaya bahwa suara yang didengarnya itu bukan saja suara manusia melainkan suara ilahi, sehingga iapun tetap berkeyakinan bahwa angin Baratlah satu-satunya yang akan membawa keberhasilan. Dengan penuh kesabaran mereka menunggu dan menunggu akhirnya angin musim Barat mulai berhembus dengan amat kencang tepat pada bulan purnama raya.
Seperti kebiasaan sebelumnya, menurut perintah suara itu, Karema dan Lumimuut kembali untuk keempat kalinya melaksanakan hal yang sama selama 9 hari berturut-turut. Alhasil, setelah genap 9 hari menuruti perintah suara itu, merekapun menunggu dan terus menunggu, sampai beberapa bulan telah berlalu, mereka mulai merasakan adanya tanda-tanda yang menunjukkan suatu kenyataan bahwa Lumimuut sudah dalam keadaan berbadan dua. Kedua makhluk itupun bersuka-ria terutama nenek Karema yang telah lama mengidam-idamkan kenyataan itu. Tidak putus-putusnya kedua insan itu memanjatkan limpah terim kasih atas segala kebaikan sang ilahi yang telah menunjukkan kemurahanNya.
Setelah tiba waktunya, genap bulannya untuk melahirkan, Lumimuut berputra seorang bayi laki-laki yang dinamakannya 'TOAR' artinya 'AWAHAT' 7) atau 'tahi angin', karena katanya ................................... "Karena angin ribut itulah engkau diperkandungkan oleh perawan LUMIMUUT, sehingga kunamilah engkau 'TOAR' yang artinya 'awahat' atau 'tahi angin' ".
Karema yang menjadi bagaikan seorang ayah, dialah yang memelihara kedua beranak itu (Lumimuut dan Toar) dengan penuh kasih sayang bertindak bagaikan seorang suami sejati memelihara seorang isteri dan satu-satunya anak laki-laki yang amat dikasihinya. Hari, bulan, tahun, rasanya berlalu dengan cepat, anak Toar kian besar memiliki postur tubuh yang kekar, sehat, dan segar bugar.
5. Karema Mencari Jodoh Bagi Toar
Karema yang memelihara kedua anak beranak itu tidak pernah berdiam diri sekalipun impiannya sudah terkabul yaitu memperoleh seorang anak laki-laki, Toar. Iapun masih saja terus memikirkan akan kelangsungan hidup mereka di kemudian hari. Kedua makhluk itu tidak mungkin hanya akan hidup sendirian. Mereka itu hendaklah mempunyai keturunan, mereka itu harus berkembang biak bagaikan makhluk hidup lain yang dilihatnya di alam sekitar. Toar yang kian dewasa, menjadi seorang laki-laki yang harus mendapatkan seorang pendamping, seorang isteri yang kelak akan memberikan keturunan merupakan masalah yang sungguh-sungguh menjadi pemikiran utama untuk dipecahkan oleh Karema. Di dalam benaknya telah ada seorang laki-laki, tetapi kepada siapakah dia akan dijodohkan? Baginya telah ada seorang wanita yang dapat dikatakan masih muda, yaitu Lumimuut, tetapi ia adalah ibu kandung sang anak. Tidak mungkin dan tidak pantas akan dijodohkan dengan sang ibu kandung kecuali yang terjadi apada hewan dan burung-burung. Jadi tidak mungkin anak Toar dijodohkan dengan sang ibu kandung, Lumimuut. Lalu ke manakah Karema dapat mencari wanita yang dapat dijodohkan dengan Toar?
Siang dan malam silih berganti berlalu dengan cepat, Karemapun terus larut memutar otak meikirkan hari depan Toar. Sejauh mata mandang, sedalam-dalamnya ia duduk termenung, dan setinggi-tingginya burung terbang melayang ke udara, pada akhirnya ia tiba juga pada suata kesimpulan yang tampaknya tidak ada lagi yang dapat merintanginya. Nenek Karema sungguh seorang yang pintar, bijaksana dan berbudi luhur. Dunia dan alam yang luas ini adalah anugerah besar sang pencipta, demikian pula Yang Maha Kuasa. Sang ilahi yang maha murah dan maha penolong, pemimpin dan penunjuk jalan kepada Nyalah Karema tetap bersandar dan berserah diri. Jalan sudah terbuka luas dan mulus terbentang di hadapat Karema. Ia tidak lagi bersusah payah mencari dan memikirkan apa yang harus dilakukannya. Hatinya bulat dan riang gembira, sekalipun Toar masih belum waktunya dijodohkan, tetapi Karema kini sudah harus berbuat sesuatu rencana bagi kelangsungan hidup dan nasib anak Toar di kemudian hari. Jalan untuk mendapatkan seorang jodoh masih tetap menjadi rahasia yang harus disimpannya di dalam hatinya sampai waktunya anak Toar sudah cukup dewasa memperoleh pendamping hidup. Hanya kepada sang ilahi sajalah ia menyerahkan segala rahasia yang terkandung alam kalbunya.
Ketika tiba anak Toar akan dijodohkan, Karema menyediakan 2 buah tongkat yang benar-benar sama ukuran panjangnya. Sebuah tongkat diambil dari sebatang gelegah yang disebut orang Tombulu 'tiwoho' 8), dan yang sebuah lagi dari sebatang 'goloba' yang disebut orang Tombulu 'tuis' 9). Tongkat dari tiwoho itu adalah batang yang sudah agak tua sehingga tidak lagi dapat berpucuk yang baru, sedang tongkat yang dari tuis diambil batang yang masih mudah sehingga masih dapat berpucuk muda. Kedua tongkat itu sama-sama berukuran akil baliq, dan sebuah lagi untuk Lumimuut. Keduanya pun diberikan bekal secukupnya.
Setelah keduanya telah dieprsiapkan dengan baik, Karemapun memanggil mereka lalu katanya..... "Sekarang pergilah kamu masing-masing ke luar berjalan mengelilingi dunia ini (sangkanya sekitar gugusan gunung Soputan sajalah dunia ini) dan carilah kamu masing-masing seornag jodoh, karena kau hai Lumimuut, kau masih muda dan pada tempatnya mendapatkan seorang laki-laki yang dapat menjadi suamimu, sedang kau Toar, sekarang kau telah dewasa sudah waktunya kau lepas dari tangan orang tuamu karena seharusnya tak dapat tiada orang akan meninggalkan orang tuanya dan berdampingan dengan isterinya, maka keduanya itu menjadi sedaging jua adanya" (Kejadian 2:24) ...... . "Kamu pergi masing-masing membawa sebuah tongkat. Kedua tongkat ini sama panjang, (disamakannya di hadapan Lumimuut dan Toar). Pergilah kamu berjalan mengelilingi dunia ini. apabila kamu bertemu dengan seorang manusia, bagi kamu hai Toar, apabila bertemu dengan seorang wanita yang membawa tongkat, salamilah dia dan minatalah tongkatnya itu disamakan, apabila tongkatmu itu sama panjang dengan tongkatnya, salamilah dia sekali lagi dan terusanlah perjalananmu. Akan tetapi apabila kau menemukan tongkatmu itu tidak sama panjangnya dengan tongkatnya, salamilah dia sekali lagi dan mintalah dia menjadi isterimu... Demikian pula bagimu hai Lumimuut, apabila di dalam perjalananmu itu kau bertemu dengan seorang manusia, jika ia seorang laki-laki yang membawa tongkat, bersalamanlah kamu berdua dan minta samakanlah kedua tongkatmu. Apabila kedua tongkatmu itu sama panjangnya, bersalamanlah kamu sekali lagi, dan teruskan perjalananmu. Tetapi, apabila kedua tongkatmu itu tidak sama panjangnya, bersalamanlah kamu berdua sekali lagi dan jadilah kamu berdua sebagai suami isteri. Selanjutnya apabila kamu masing-masing telah memperoleh seorang jodoh, berusahalah kamu kembali kepadaku di tempat ini, supaya dapatlah kiranya aku melihat dan memandang jodohmu itu masing-masing. Ambil dan terimalah tongkat ini masing-masing sebuah, dan pergilah kamu berjalanlah dengan selamat sejahtera, seorang mengambil arah haluan ke kanan dan seorang lagi arah ke kiri. Opo Wailan beserta kamu!"
Demikianlah Lumimuut dan Toar masing-masing telah menerima tongkat lalu berangkat meninggalkan nenek Karema menurut arah haluannya sendiri-sendiri seorang menuju ke kanan dan seorang lagi mengambil arah ke kiri.
Tinggallah nenek Karema seorang diri di tempatnya menantikan pulangnya Lumimuut dan Toar dengan penuh kesabaran serta dengan penuh harapan akan keberhasilan usahanya yaitu kembalinya kedua insan itu bersama jodohnya (memang keduanya kelak akan bertemu karena dengan siapa lagi mereka dapat bertemu selain kedua makhluk yang sama ini, bukankah di dunia ini tidak ada manusia lain selain mereka berdua, dan bukankah nenek Karema itu benar-benar pintar?).
6. Toar Menikah
Selang beberapa waktu kemudian, setelah kepergian Lumimuut dan Toar mengelilingi dunia ini, keduanyapun bertemu. Seperti apa yang dipesankan nenek Karema, Lumimuut melaksanakan pesan tersebut kepada orang yang dijumpainya dalam perjalanan pengembaraannya di dunia ini. Seorang laki-laki yang dijumpainya ternyata membawa tongkat yang tidak sama panjangnya dengan tongkat yang dibawanya. Keduanyapun mengadakan perundingan bahwa mereka akan menjadi suami interi. Dengan jalan demikian laki-laki yang ditemukan Lumimuut pembawa tongkat yang tidak sama panjang dengan tongkatnya akan menjadi suaminya, sebaliknya Toar yang menemukan wanita pembawa tongkat yang juga tidak sama panjang dengan tongkatnya akan menjadi isterinya. Mereka itupun segera mencari jalan pulang untuk menemui nenek Karema. Sesampai mereka ke hadapan nenek Karema, merekapun disambut nenek itu dengan penuh kehangatan dan dengan riang gembira penuh kebahagiaan. Demikianlah kisah Toar menikah dengan Lumimuut dengan tidak lagi menghiraukan atau mempermasalahkan perbedaan antara ibu dan anak karena hal itu telah ditebus dengan selisih kedua tongkat yang dibawahnya 10).
Kehidupan rumah tangga suami isteri ini Toar dan Lumimuut berlangsung sebagaimana biasa. Rumah tangga muda ini ternyata tidak juga lepas dari bimbingan nenek Karema. Nenek ini selalu memberi petunjuk, memberi ihktiar, atau apa saja yang baik di dalam kehidupan berumah tangga baik badani maupun rohani. Ia senantiasa mengajar kedua sejoli itu Toar dan Lumimuut akan jalannya kebaktian kepada sang ilahi, sehingga diharapkan di kemudian hari ketiga makhluk itu menjadi panutan anak cucu mereka dalam masyarakat. Merekapun menjadi 'Tiga Oknum' (Tri Tunggal) yang dipuja-puja dalam setiap kepercayaan, di dalam sembahyang para walian anak-anak Toar dan Lumimuut dengan kalimat antar lain...
"O, Empung e Wailan, iregeso me kamu, wo kamu mei kuman wo melep wo lumema, kelamo angkan wo asera wo ulepen nimei weteng nia wia nikamu imbailan. Kuman wo melep wo lumema mola kamu; wo piki-pikian ne kai imbana sakit, reges lewo, susuw intana, susuw intasik, wo kama-kamangen ne kai, wo i ayo-ayo mange kai wana se Lokon-Telu (tiga-Oknum=Tri Tunggal), katutua-an wo kalalawiren"
Artinya "Ya Allah yang maha kaya, datanglah kamu dibawa/diantar angin (bandingkan Kejadian 3:8, Tuhan Allah datang dengan angin silir), supaya kamu makan dan minum sehidangan dan makan sirih pinang; inilah nasi dengan ikannya beserta 'saguer' (tuak) yang kami persembahkan kepada kamu; makan minumlah juga kamu, angin jahat, uap tanah, uap laut; dan berilah berkat kepada kami, dan tibakan kami sampai ke tempatnya Lokon Telu (Karema, Toar dan Lumimuut), kelanjutan umur dan panjang usia (tempat yang kekal).
7. Anak-Anak Toar dan Lumimuut
Ternyata keluarga rumah tangga Toar dan Lumimuut itu sangat berbahagia dan beruntung. Mereka dikaruniai banyak anak antara lain: Muntu-Untu, Marinoya, Panaaran, Tamatular, Miohyo, dan Mainota. Yang saulung itu Muntu-Untu, seorang anak laki-laki yang setelah dewasa, diajari dan dilatih oleh nenek Karema mengatur dan menjankan suatu kepercayaan 'maka-tana' 11) yaitu suatu cara bagaimana menghormati sang ilahi, dan bagaimana menghubungkan manusia dengan sang ilahi, dan yang akan ada, dan yang harus dipegang oleh anak-cucu Toar dan Lumimuut turun-terumurun. Demikian pula Muntu-Untu itulah yang melanjutkan mengajarkan kepada anak-cucu mereka tentang kepercayaan itu. Karena itulah dalam upacara kepercayaan mereka, dalam pengoraian, Muntu-untu itulah yang dianggap oleh Walian-Walian, sebagai Walian Utama. Namun demikian, Karema, Toar dan Lumimuut adalah ketiga oknum yang paling utama dipuja dalam setiap upacara kepercayaan mereka.
Keterangan
7) awahat : angin Barat yang sangat kencang dan sering membawa hujan yang sangat deras
8) tiwoho : sejenis tumbuhan gelegah yang batangnya beruas-ruas seperti batang jagung, buahnya ada pada puncak batangnya seperti bunga sari pada jagung.
9) tuis : sejenis tumbuhan yang tidak bercabang, pangkal daunnya panjang-panjang bersusun berlapis-lapis menjadikan batangnya bertunas, buahnya keluar dari pangkal batang timbul di atas permukaan tanah bergugusan pada tangkainya.
10) Perkawinan Toar dan Lumimuut itu adalah perkawinan ibu dan anak. Sesungguhnya amat pantang dan haram menurut nenek Karema, orang yang masih ada hubungan keluarga, terlebih lagi jika hubungan itu adalah ibu dan anak menjadi suami isteri. Tetapi apabila dalam keadaan terpaksa, mau tidak mau sudah harus ada supaya agar terlepas dari kekeliruan itu seperti halnya LOT dengan anak-anakny (Kejadian 19:31-38). Menurut perasaan nenek Karema, Lumimuut dan Toar, ibu dan anak boleh juga menjadi suami isteri, asalkan melalui suatu syarat seperti yang telah dilakukannya kepada Lumimuut dan Toar. Bagi orang Minahasa (anak-anak Toar dan Lumimuut) pada masa lalu, pantang dan terlarang bagi orang yang masih sepupu atau masi ada hubungan darah menjadi suami isteri; akan tetapi bila sudah dalam keadaan mamaksa, orang yang sepupu itu boleh juga diizinkan menjadi suami isteri setelah melalui persyaratan yang disebut "SAWUT TAWAANG', artinya pihak pria harus memberikan/menyerahkan sebidang tanah kepada pihak wanita dan harus disaksikan dihadapan seluruh keluarga kedua belah pihak pria dan wanita, serta pemerintah setempat.
Arti kata SAWUT = cabut, TAWAANG = nama sejenis tumbuhan yang biasa ditanam pada batas tanah atau pekarangan rumah, berdaun panjang-panjang dan lebar, ada juga yang ramping berwarna merah dan hijau. Sawut tawaang itu suatu syarat yang mengizinkan orang yang masih sepupu atau yang masih ada hubungan darah menjadi suami isteri, sama seperti Toar dan Lumimuut sudah boleh menjadi suami isteri setelah melalui syarat memakai tongkat.
Pada zaman pemerintah Belanda, orang yang masih ada hubungan ipar tidak diperbolehkan menjadi suami isteri, selain ada izin dari pemerintah.
11) Maka-tana : tanah air : tanah sendiri; maka-tana : yang empunya tanah = pemilik tanah
sumber : Cerita ini diambil dari buku
Ringkasan Sejarah
ASAL-USULNYA NEGERI WOLOAN
(TOMBARIRI)
Penulis
T.J. WEHANTOUW
Tim Kreatif:
Andi Wanua Tangke
Anwar Nasyaruddin
Desain Cover:
Mas Daeng Naba
Layour:
Rfleksi Arts
Penerbit:
PUSTAKA REFLEKSI
(tulisan / cerita ini, saya masukkan ke blog/web saya, dengan tujuan hanya untuk berbagi cerita-cerita/sejarah tentang Woloan/Minahasa)
Ringkasan Sejarah
ASAL-USULNYA NEGERI WOLOAN
(TOMBARIRI)
Penulis
T.J. WEHANTOUW
Tim Kreatif:
Andi Wanua Tangke
Anwar Nasyaruddin
Desain Cover:
Mas Daeng Naba
Layour:
Rfleksi Arts
Penerbit:
PUSTAKA REFLEKSI
(tulisan / cerita ini, saya masukkan ke blog/web saya, dengan tujuan hanya untuk berbagi cerita-cerita/sejarah tentang Woloan/Minahasa)